Waktu mengajarkan kita bahwa hidup ini sejatinya adalah sebuah perjalanan panjang dimana bukan hanya tawa kebahagian yang kita lewati, tetapi juga ingatan akan penderitaan
Kawan, aku hanya menganggap diri ini sebagai seorang musafir, seorang pendatang dan perantau di dunia ini. Tidak ada tempat yang terbaik yang harus kita diami, selalu saja ada waktu dimana kita harus membongkar kemah kita atau membungkus secuil perbekalan kita (kalau pun ada) untuk kemudian melanjutkan perjalan sampai ke tempat yang dirindukan.
Seperti halnya banyak orang lain, kita pun sering mengira-ngira bahwa sekiranya kita melakukan ini atau itu, atau mendapatkan ini dan itu, maka kita akan merasa nyaman dan tenang dan perjalanan kita menjadi lebih mudah. Dengan demikian, kita menjadi merasa berguna atau kita merasa hebat, tetapi justru itu merupakan sebuah awal yang salah untuk memulai sebuah perjalanan. Sejatinya kita tidak lebih hebat dan lebih berguna dengan semua itu, bukan apa yang kita peroleh dan yang kita kerjakan yang membuat kita hebat, tetapi sebuah kasih sayang yang menerima kita apa adanya justru yang membuat kita menjadi pribadi yang berarti.
Kawan, hidup ini penuh dengan ketidak sempurnaan. Hubungan-hubungan yang rapuh, kepahitan, kesendirian, harapan yang tidak sampai, pengkhianatan, hati yang patah dan hancur, kekecewaan dan semua hal yang sepertinya bagaikan memburu-buru berlelah untuk ketidakpastian dan ketidakcukupan.
Banyak sekali beban yang tidak harapkan yang justru membebani diri kita ini di dalam melangkah, diri ini jadi kecut dan tawar hati, kemarahan memuncak di dalam diri dan siap membakar, tetapi semua itu justru membuktikan bahwa memang sejatinya diri kita tidak berdaya, kita bangkrut, rubuh dan patah.
Bukankah kita semua pernah mentertawakan semua kebodohan kita, kekita kita menjadi sensitif dan menjadi tidak sabar dengan segala sesuatunya ketika apa yang kita harapkan tidak sampai, atau merasa kata-kata yang paling bijak pun dari orang lain menjadi sebuah serangan atas harga diri kita, namun selalu saja kita jatuh di dalam kesalahan yang sama.
Kita menjadi tidak “jenak” (tenang), tegang dan hubungan-hubungan dengan sesama kita menjadi hancur. Kita ingin menjadi pahlawan dengan segala ketidaksempurnaan yang terjadi, tetapi justru kita malah menjadi pecundang yang tidak berdaya.
Semua itu bagaikan duri di dalam hidup , tetapi justru di dalam semua itu kita sejujurnya merindukan anugerah yang memampukan kita mengatasi itu.
Di dalam ketidaksempurnaan yang endemik ini, kita akhirnya menyadari supaya Allah yang Maha Sempurna telah menganugrahi kita kekuatan untuk mengatasi hal ini. Kawan, sebenarnya hati ini miris dan getir ketika mengingat semua kebodohan itu. Waktu justru membuktikan kepada kita, bahwa bukan kuat dan gagah yang bisa kita andalkan untuk melajutkan perjalanan kita, tetapi kita membutuhkan kekuatan dari yang Maha Kuasa untuk memampukan kita melanjutkan perjalanan ini.
Kawan, kita akhirnya perlu untuk berkata kepada jiwa kita,“mengapa engkau tertekan hai jiwaku dan gelisah di dalam diriku?” Ya mengapa? Tidak ada alasan kita untuk tertekan dan gelisah ketika kita menggantungkan kehidupan kita kepada Allah (Tawakal).
Kawan, kita harus menyadari bahwa jiwa kita ini seharusnya selalu merindu-Nya. Merindukan-Nya merupakan sebuah energi yang tiada habisnya yang senantiasa memotivasi perjalan seorang musafir. Bukankah kerinduan itu membuat jiwa kita bergetar-getar menanti-nantikan saatnya penemuhan itu tiba, menjadi bunga-bunga yang berseri di taman hati, membuat wajah dan hidup kita merona menantikannya.
Adalah merupakan sebuah anugrah yang menguatkan jikalau ada kawan seiring yang selalu bersama berbagi dalam perjalanan ini, namun tidak selamanya hal itu terjadi, Kawan. Ada kalanya kita membutuhkan kesendirian untuk akhirnya bisa memahami dengan sempurna ketenangan, kecukupan dan kenyamanan yang sejati. Bukankah jikalau Dia beserta kita, itu sudah cukup bagi kita?
Kawan, ingatlah Tujuan perjalanan kita adalah akherat, untuk menemui Sang Khaliq. Menerima kenyataan pahit atau manis di dalam hidup merupakan bagian dari mengukur kebahagiaan. Orang yang paling bahagia di dunia ini, tidak setiap saat merasa bahagia. Pada kenyataannya, semua orang yang paling bahagia pun pernah merasakan suasana hati yang buruk, masalah, kekecewaan dan sakit hati. Kebanyakan orang membuat keadaan tidak menyenangkan itu menjadi semakin parah. Ketika mereka merasa sedang susah, mereka menyingsingkan lengan baju dan berusaha mengenyahkannya… Mereka berusaha memaksa diri mereka untuk keluar dari keadaan suasana hati yang buruk itu, yang cenderung akan menambah rumit masalah, bukannya mencari solusi. Orang yang bahagia menyikapi depresi, kemarahan, stress, dengan sikap terbuka dan bijak. Mereka tidak melawan perasaan ini dan menjadi panik, hanya karena merasa tidak enak, akan tetapi mereka menerimanya dan menyadari bahwa nanti juga badai akan berlalu…”
Kawan, tak ada kekayaan dan kejayaan yang abadi, begitu juga sebaliknya, tak ada kesuraman yang abadi. Semuanya silih berganti seperti bergantinya siang dan malam. Karena itu, jangan sampai kelalaian membenamkan kita ke dalam kubangan yang kelak menghancurkan masa depan. Jangan sampai kita mempertuhankan materi dalam hidup ini. Sebab, saat ini, baik si kaya maupun si miskin, keduanya berlomba mempertuhankan materi, sehingga melalaikan tugas dan misi utama mereka hidup di dunia ini, yakni menyembah Allah ‘Azza wa Jalla.
Kawan, banyak yang lupa bahwa dunia sejatinya adalah sebuah halte, tempat persinggahan untuk menuju terminal terakhir, alam yang kekal dan abadi, kehidupan akhirat. Saat ini kita berkelana di atasnya sebagai seorang pengembara atau musafir. Yang sadar sedang menempuh satu perjalanan yang sangat jauh. Di sanalah kelak kita akan menuai kebahagiaan yang sejati, sebagaimana juga akan menuai penderitaan yang abadi. Ingatlah firman Allah, “Tetapi kamu orang-orang kafir memilih kehidupan dunia. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” QS al-A’la [87]: 16-17.
Kawan, selamat melanjutkan perjalanan. Semoga Allah berkahi mu……..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar